Manusia Dan Lingkungan Hidup; Dalam Etika Lingkungan Hidup

Ekosfer adalah matriks kehidupan yang melingkupi semua organisme, terjalin erat dalam kisah evolusi dari awal waktu. Organisme yang diciptakan dari udara, air dan sendimen yang pada gilirannya melahirkan jejak organik. Komposisi air laut di rawat oleh organisme yang ikut menstabilkan atmosfer. Tumbuhan dan binatang membentuk batu kapur di pegunungan yang sendimennya membuat tulang-tulang kita. Divisi palsu yang telah kita buat antara hidup dan non hidup, biotik dan abiotik, organik dan anorganik, telah merusak stabilitas dan berpotensi merusak ekosfer.

Permukaan bumi menyajikan keragaman estetis Arktik yang dingin dan beberapa ekosistem tropis yang menarik. Dalam mozaik global ini beragam varietas tanaman, hewan dan manusia bergantung pada campuran dari bentang alam, tanah, air dan iklim lokal. Dengan demikian keanekaragaman hayati, keragaman organisme, tergantung pada pemeliharan ecodiversity, keragaman ekosistem. Keragaman budaya, suatu bentuk keanekaragaman hayati, adalah hasil sejarah dari kegiatan manusia, pikiran dan bahasa untuk ekosistem geografis tertentu. Oleh karena itu, apa pun yang mendegradasi danmenghancurkan ekosistem baik biologis, atau budaya adalah berbahaya.

Setiap kebudayaan masa lalu manusia mengembangkan sebuah bahasa yang unik secara estetika danetika yang berakar dalam pemandangan, suara, aroma, selera, dan perasaan dari bagian tertentu dari bumi. Berbasis ekosistem seperti keragaman budaya sangat penting, cara-cara membina hidup yang berkelanjutan di berbagai belahan bumi. Hari ini bahasa ekologi masyarakat pribumi, dan keanekaragaman budaya yang mereka wakili, yang terancam punah menjadi lebih sedikit, keragaman menurun, variasi mulai menghilang. Tantangan etika ekosentris saat ini adalah globalisasi ekonomi yang mengabaikan kearifan ekologi di berbagai budaya dan menghancurkan mereka untuk keuntungan jangka pendek.

Filsafat lingkungan dalam hal ini etika lingkungan menjadi medan kerja bakti di mana tuntutan gotong royong antara ilmuwan dan filosof terasa kuat sekali, di mana ketidakberpisahan nilai dari fakta menegaskan diri, di mana budi spekulatif dan budi praktis bekerjasama.

Semua etika mencari rasa hormat yang tepat bagi kehidupan. Tapi tidak hanya etika humanis yang diperlukan bagi lingkungan. Penghormatan kepada kehidupan menuntut etika concern terhadap kesejahteraan manusia, dan sekarang mengenai lingkungan. Tetapi etika lingkungan dalam pengertian lebih dalam (deep ecology) berdiri terdepan, seperti teori-teori radikal yang diterapkan ‘sendirian’, ia bertanya ‘apakah ada tanggungjawab selain manusia?’

Berbicara mengenai masalah lingkungan hidup merupakan masalah moral, dan perilaku manusia. Lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Atas dasar pemikiran ini, etika dan moralitas menjadi hal yang penting agar manusia dapat memandang alam semesta sebagaimana manusia memperlakukan makhluk sesamanya. Krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral secara global.

Etika

Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Sedangkan etika lingkungan hidup hampir semua filsuf berpandangan antroposentris dalam melihat etika lingkungan hidup sebagai sebuah disiplin filsafat yang berbicara mengenai hubungan moral antara manusia dengan lingkungan atau alam semesta, dan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan.

Antroposentrisme


Antroposentrisme adalah salah satu keyakinan bahwa manusia adalah pusat dan entitas yang paling signifikan di alam semesta, atau penilaian realitas melalui sudut pandang manusia secara eksklusif. Dalam konteks lingkungan hidup, tesis dasar dari antroposentrisme adalah pemanfaatan terhadap lingkungan hidup harus tunduk pada kepentingan manusia. Lingkungan dalam konteks ini hanya memiliki nilai instrumental, sebagai obyek eksploitasi, eksperimen untuk kepentingan manusia. Dan manusia dalam konteks ini merupakan satu-satunya subyek moral. Pandangan ini juga dapat didefinisikan sebagai supermasi manusia.

Antroposentrisme telah diandaikan oleh beberapa environmentalist, dalam buku-buku seperti Confessions of an Eco-Warrior oleh Dave Foreman dan Green Rage  oleh Christopher Surai, sebagai alasan yang mendasari mengapa manusia mendominasi dan melihat kebutuhan untuk ‘mengembangkan’ sebagian besar bumi. Kalau pun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, semata-mata dilakukan karena menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi.

Kritik Atas Antroposentrisme


Kerusakan lingkungan dewasa ini banyak dikaitkan dengan antroposentrisme. Mereka berkeyakinan apapun yang ada di alam semesta ini diciptakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Oleh karena itu bukan sesuatu yang aneh apabila kerusakan lingkungan berlangsung semakin parah. Semenjak revolusi industri di abad 18 sampai sekarang kerusakan lingkungan semakin meningkat. Jumlah karbon naik sekitar 20 persen. Penggunaan bahan bakar untuk proses produksi dianggap sebagai perilaku utamanya.

Aktifitas-aktifitas ramah lingkungan yang mulai mereka lakukan seperti tidak lagi menggunakan alat yang tidak bisa didaur ulang atau menjaga kelestarian hutan adalah tidak lebih mereka lakukan sebagai usaha untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka.

Teori antroposentrisme terlalu dangkal dan sempit dalam memandang keseluruhan ekosistem, termasuk manusia dan tempatnya di alam semesta. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya.

Biosentrisme


Teori ini menggangap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Etika lingkungan berpaham ini menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai entitas yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Paham ini berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja, ada banyak jenis makhluk hidup yang memiliki kehidupan. Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keseluruhan hidup, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena yang ingin dibela adalah kehidupan.

Biosentrisme pada umumnya adalah komunitas biotis dan seluruh kehidupan di dalamnya, diberi bobot dan pertimbangan moral yang sama.

Ekosentrisme


Teori ini merupakan keberlanjutan dari biosentrisme. Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Pada biosentris etika diperluas pada untuk mencakup komunitas biosentris, sementara pada ekosentrisme etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Etika ini dijelaskan oleh Aldo Leopold bahwa semua spesies, termasuk manusia adalah produk dari proses evolusi yang panjang dan ini saling berkaitan dalam proses kehidupan mereka. Arne Neass, filsuf Norwegia menyebutkan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Dalam hal ini yang diperkenalkan olehnya adalah deep ecology. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya. Etika baru ini tidak mengubah sama sekali hubungan antara manusia dan manusia.

Ada alasan mengapa deep ecology menjadi penting dalam sebuah gerakan pemikiran. Pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep ecology justru memusatkan perhatian kepada seluruh spesies, dan tidak memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek.

Kedua, bahwa etika lingkungan hidup yang dikembangkan oleh deep ecology dirancang sebagai etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret.

Ekopopulisme

Dari waktu ke waktu bukti mengenai kerusakan lingkungan hidup akibat industri modern telah membawa kita lebih dekat dengan kehancuran. Andrew Szasz dalam bukunya Ecopopulism, Toxic Waste and The Movement for Environmental Justice, menyimpulkan bahwa dalam pembuatan kebijakan politik, ekonomi, ataupun sosial yang berimplikasi pada lingkungan hidup, jarang sekali dilakukan dengan pendekatan-pendekatan tradisional.

Di belahan bumi ini masih ada masyarakat dengan peradabannya yang seusia dengan umur manusia, yang memiliki  kearifannya dalam menjalin hubungan dengan lingkungan. Kearifan lokal dengan keragamannya telah berhasil menjaga keseimbangan pada ekosistem. Bukan hanya manusia, tetapi alam semesta mendapatkan sesuai porsi tanpa ada yang dirugikan.

Para ekopopulis menekankan pentingnya belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang lokal dengan segala kearifannya dan sebaliknya, dari inovasi-inovasi keliru yang diperkenalkan dari luar. Bagi para ekopopulis, partisipasi masyarakat dan kearifan lokal seperti pemahaman rakyat tentang tanah, tumbuhan, dan satwa, perputaran iklim, hama, penyakit-penyakit, atau pengetahuan yang tersirat dalam lagu rakyat, peribahasa, dan cerita-cerita merupakan cara terbaik untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Ekofeminisme

Untuk lebih membuka pemahaman tentang ekofeminisme, tentunya harus diketahui lebih dahulu pengertian dari feminisme, karena ekofeminisme merupakan perpanjangan dari feminisme.

Feminisme merupakan sebuah aliran filsafat yang mempersoalkan, mempertanyakan dan menggugat cara pandang dominan dan umum yang berlaku dalam era modern, yang pertama-tama diwarnai oleh cara pandang maskulin, patriarkis, dan hierarkis. Dalam perspektif itu, feminisme mempertanyakan dan menggugat keabsahan semua cara pandang modernism dengan kecenderungan dasarnya untuk hanya menerima cerita-cerita besar dan prinsip abstrak, umum, yang mendominasi modernism. Feminisme mendobrak pola pikir dan cara pandang yang hanya satu, homogeny, umum, universal, dan baku.

Sedangkan ekofeminisme merupakan bentuk telaah etika lingkungan yang ingin menggugat dan mendobrak cara pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern dan sekaligus menawarkan sebuah cara pandang dan perilaku baru untuk mengatasi krisis lingkungan sekarang ini. Yang dilawan oleh etika ini bukan hanya sekadar antroposentrisme, namun juga androsentrisme. Androsentrisme adalah etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Ekofeminisme mengkritik ekosentrisme, khususnya deep ecology. Karena masih saja dianggap berpusat pada antroposentrisme. Padahal lebih dalam dari itu, adlaah dominasi laki-laki atas alam sebagai sebab dari krisis ekologi.

Cara pandang yang ditawarkan adalah cara pandang perempuan yang penuh dengan kasih sayang atau welas asih kepada setiap makhluk hidup atau biota lainnya. Bagi ekofeminisme, kerusakan ekologi saat ini disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris yakni mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam.

Penutup


Sesungguhnya kerusakan di muka bumi ini tidak akan bisa dihindari. Tuhan telah menetapkan umur pada tiap entitas yang ada. Tapi bukan berarti kita berpasrah begitu saja dengan kerusakan yang telah dan yang akan terjadi. Karena aktifitas-aktifitas manusialah yang telah mempercepat proses kerusakan tersebut. Kerusakan akan terus terjadi apabila manusia masih mengagungkan supremasinya dan belum menyadari bahwa setiap entitas di alam memiliki kehidupan dan terus menjamin keberlangsungan kehidupan.

*Diberikan pada materi kelas TRADAS XXIII KMPLHK RANITA