Jangan-jangan Kita Marah Dijajah Hanya Karena Perbedaan ” Warna Kulit”

    Percakapan ku dengan teman ku di malam hari setelah seharian berteriak. “apa sih yang sedang kita perjuangkan?” Tanya nya dalam kepada ku. “hak, keadilan dan sejenisnya” jawabku singkat. “lalu. Kemana orang yang lain? Apakah hanya kita orang yang merasa diambil haknya?” Tanya nya lebih dalam lagi sambil melanjutkan. “aku bingung dengan teman-teman yang lain. Padahal kita berusaha memperjuangkan haknya juga, tetapi mereka malah diam saja atau mungkin ada yang menutup mata dan telinga seakan-akan keadaan sekitar baik-baik saja!” seakan-akan menyesali sesuatu hari ini. Sadar akan keadaan sahabatku saat itu, aku mencoba menenangkan “mungkin mereka tidak merasa haknya di ambil? Atau selama mereka tidak terganggu secara langsung dengan pemangkasan hak-hak, mereka tak akan bergerak.” Kata ku. “pengecut, penjilat, sombong, tai kucing semua”. Emosi sahabatku terarah pada langit malam itu.

Konon dahulu pergerakan menuju kemerdekaan dialakukan setiap elemen bangsa ini. Rakyat Indonesia marah karena penjajah telah mengambil apa yang bukan hak mereka –saya yakin penjajah tidak pernah punya hak di negeri terjajah- . Seakan-akan tanah air ini milik moyang mereka. Mengumpamakan pribumi sebagai binatang atau budak. Di negeri sendiri, siapa yang rela terjajah.

Imperialisme memang benar keterlaluan. Mereka datang ke negeri ini dengan semboyan kesopanan dan keamanan umum. Seolah-olah bangsa ini biadab dan tanpa aturan. Seakan-akan mereka datang dengan tugas mulia membawa pencerahan bagi kita. Seakan-akan mereka akan memberikan perubahan agar kita menjadi lebih baik. Setelah itu mereka mulai mengambil yang bukan haknya. Sebuah pencurian besar-besaran yang kita sadari tetapi kita hanya dapat diam. Apakah seperti itu bangsa ini seharusnya.

Bangsa yang dahulu katanya gagah berani, yang tak gampang tunduk dan yang katanya perahu-perahunya mengelilingi dunia melewati berbagai samudera. Kini bangsa ini telah menjadi bangsa pengecut, seperti kambing yang bisa di gembala kemana saja,terikat tali dilehernya dan bisa ditarik atau diulur, yang selamanya dipimpin dan dituntun.

Sungguh imperialisme ini dapat di hadapi apabila rakyat negeri ini, anak bangsa ini dari sabang sampai merauke, dari pulau miangas sampai pulau rote mau bersatu. Mau menyadari bahwa hak-haknya sudah dirampas, mau melawan dari ketidakadilan yang sedang dan akan terjadi. Tidak ada satupun sel-sel imperialisme yang bisa melawan kekuatan rakyat banyak. Terbukti pada tanggal 17 agustus 1945 rakyat Indonesia berhasil menyatakan kemerdekaannya.

“Tidak pernah ada jalan akhir bagi bangsa pejuang”. Mungkin perkataan bapak bangsa ini merupakan nasehat dan kewanti-wantian bagi kita sebagai anak bangsa ini, calon penerusnya. Memang dahulu imperialisme belanda telah berhasil di tendang keluar dari negeri ini ketika rakyat Indonesia semuanya bersatu tanpa terkecuali. Tapi saat ini “mereka” telah kembali lagi dengan menggunakan topeng.

Apakah kita bisa menyadari kalau saat ini kita masih sedang dijajah. Semoga kita bisa menyadarinya. Penjajahan dengan senjata adalah ide buruk di era sekarang ini. Sekarang tidak memerlukan banyak modal untuk menjajah. Senjata dan angkatan perang adalah cara terakhir untuk menjajah.

Mengapa dahulu banyak terjadi penjajahan? Uang. Para penjajah mencari barang yang bisa dijual kembali di negerinya. Awalnya mereka membeli dengan harga murah lalu mereka menjualnya di luar negeri dengan harga yang mahal –tanpa kita mengerti-. Karena sudah merasa diterima oleh bangsa yang “sopan” ini. Mereka malah melunjak-lunjak seperti di atas angin. Kesopanan bangsa ini kepada penjajah malah dimanfaatkan oleh mereka untuk menguasai lebih. Kita dipaksa membeli sesuatu yang padahal kita yang menanam, memberi pupuk dan memanen. Benar apa yang dikatakan filosof “jangan terlalu manis karena kau akan ditelan, dan jangan juga terlalu pahit karena kau akan dimuntahkan.” Kesopanan kita lah yang membuat kita terjajah.

Setelah 64 tahun kita resmi merdeka pun ternyata kita masih di jajah. Pendekatan refresif bukan sesuatu yang ideal di masa saat ini, peluru juga bukan jaminan kita bisa ditundukan. Sekarang cara mereka sangat halus. Kita diberi suntikan kapitalisme –bentuk baru imperialisme-, sekali kena suntik, kita akan meminta lagi. Suntikan itu begitu halusnya sampai-sampai kita tidak menyadari. Suntikan itu berbentuk upah yang seakan-akan besar, suntikan itu berupa tanggung jawab social perusahaan (CSR) yang sepertinya hebat dan suntikan lainnya yang membuat kita terdiam dalam rasa syukur -dari pada tidak ada-. Bukan perasaan syukur yang ikhlas dari dalam jiwa.

Upah yang didapatkan dari kerja menghamburkan keringat dan menghabiskan tenaga itu sungguh lah tidak setimpal dengan keuntungan bersih yang diterima oleh perusahaan. Tanggung jawab sosial yang diberikan perusahaan pun hanyalah sebagai kedok belaka. CSR sudah menjadi bagian “inti” dari promosi perusahaan. Biaya promosi pun menjadi lebih kecil atau jangan-jangan tidak pernah ada biaya CSR yang merupakan kewajiban bagi perusahaan, karena kegiatan CSR yang dilakukan diambil dari brangkas promosi. Sungguh sebuah kebohongan kalau ini benar-benar terjadi.

Bukan lagi rupa orang asing yang kita lihat, bukan lagi kulit putih yang membawa senjata yang kita hadapi. Bukan pula bambu runcing senjata kita. Mereka sama seperti kita. Yang berbeda adalah mereka mau mengkhianati bangsa dan rakyat ini. Mereka adalah antek-antek kapitalisme, mereka adalah orang bodoh yang terlebih dahulu terkena suntikan kapitalis dengan dosis yang lebih tinggi dari kita. Mereka amat pintar membodoh-bodohi kita. Peraturan di Negara ini di buat sedemikian rupa agar semua hal yang membahayakan perluasan kapitalis bias dihilangkan. Kita dimodifikasi sedemikian rupa agar mulut kita diam. Kita dicuci otaknya agar tidak berani melawan. Mengapa kenyataan ini tidak bisa membuat kita marah? Jangan-jangan kita tidak marah karena dijajah bangsa sendiri.

Kita terinjak di negeri sendiri. Buruh dipaksa puas dengan upah yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petani di paksa meninggalkan lahan tempat mereka bertani dengan ratusan butir peluru. Nelayan dipaksa melaut jauh di tengah lautan lepas padahal di seberang rumah nya banyak ikan berkumpul di karang - karang. Alasan-alasan dibuat, teori pembenaran pun diciptakan. Tanah air ini akan menjadi milik mereka sebentar lagi kalau kita hanya terdiam dalam lubang kesengsaraan tanpa berani melawan.

Salah satu pasal dalam Declaration of Human Rights di tuliskan dengan gamblang dalam pasal 25 ayat 1 tentang hak manusia dalam ekonomi.

    “Setiap orang memiliki hak untuk hidup berkecukupan dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan dirinya maupun keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan, dan penanganan medis dan pelayanan social yang memadai, dan hak untuk mendapatkan jaminan disaat menjadi pengangguran, sakit, tidak mampu, janda, jompo, atau tidak berkecukupan dalam bidang yang lain seperti mata pencaharian dalam lingkungan di luar pengawasannya.”

Apalagi yang sedang kita tunggu? Tidak akan pernah ada pahlawan super yang menolong! Kita sendiri yang harus bergerak, orang-orang disekitar kita yang juga harus bergerak. Kita, bersama semua orang yang haknya belum dipenuhi oleh Negara ini wajib untuk bergerak. Bukan sebuah ancaman atau pemberontakan. Ini sebuah pergerakan. Menuju bangsa yang lebih baik. Jangan sampai kita marah dijajah hanya karena perbedaan warna “kulit” – bukan rasis, hanya maksud menggambarkan budaya kita yang menerima apapun asal orang indonesia-.